Sore
itu aku duduk di halte depan kampusku. Menunggu Dika datang menjemput. Sudah
beberapa teman-temanku mengajakku pulang bareng tapi ku tetap menunggu Dika.
Senja
sudah mulai memudar, terganti sinar rembulan. Tapi belum juga Dika datang
menjemputku. Aku mulai resah. Ku hubungi handphonenya, tapi tak diangkatnya.
Mungkin dia masih sibuk dengan pekerjaannya.
Tak
lama, handphone ku berdering. Ku lihat layar, ah ternyata bukan Dika. Mulai
kecewa.
“Hallo...
pah”
“Kania,
kamu belum pulang? Tadi supirmu bilang, kamu gak mau dijemput?” Papa
menelponku khawatir.
“Iya
pah, Dika mau jemput aku hari ini kita ada acara, mungkin pulangnya malem.
Nanti Kania telpon papa lagi ya.”
“hmmm,
gitu. Oke kamu hati-hati ya nak. Kabari papa lagi.”
“oke”
‘klik’
ku tutup telpon papa, dan menelpon Dika. Satu kali, dua kali, sampai ketujuh
kalinya tak diangkat. Ku kirim sms.
‘sayang, apa kamu masih
sibuk? Kamu gak lupa kan? Janji mau jemput aku. Aku masih nunggu dari sore
tadi. Kalo kamu udah beres kerjanya segera hubungi aku ya. Love you’
Sudah
hampir dua jam. Akhirnya Dika menghubungi.
‘iya sayang, aku ingat.
Maaf baru kabari. Tadi ada atasan jadi aku ga angkat telpon kamu. Ini aku masih
lembur. Sedikit lagi beres. Tunggu sebentar lagi ya sayang. Love you too’
Akhirnya,
ada balasan juga. Dengan semangat aku menunggu, tak lama lagi dia datang
pikirku.
Namun,
setengah jam kemudian Dika menelponku.
“Hallo,
Kania sayang.”
“Iya
Dika.. kerjaanya udah beres sayang?” tanyaku
“Duh,
justru aku menghubungimu karena gak mau kamu nunggu lebih lama lagi. Aku gak
bisa jemput kamu sayang. Atasanku ngasih kerjaan
lagi harus beres besok pagi. Kamu pulang aja ya sayang.”
“Yaaahh..sayang...
aku udah nunggu. Tapi ya sudahlah, kamu yang semangat ya kerjanya. Kabari aku
lagi ya kalau udah mau pulang.”
“Iya
Kania cantikku. Bye”
“Iya
Dika sayang, Love you”
“Love
you too”
‘klik’
Waktu
menunjukkan pukul 21.00. Akhirnya berat hati aku pun mencari taksi, pulang.
Di
perjalanan dalam taksi, hanya memandang jalanan. Kecewa, tapi apalah daya dia
sibuk dengan kerjanya. Sudah hampir satu bulan, tak menyempatkan waktu untuk
berdua.
Sementara
di tempat lain. Di sebuah kafe, jam dinding menunjukkan pukul 23.00.
“Sayang,
kamu kapan mau putusin Kaniamu itu? Kita gak bisa terus-terusan
sembunyi-sembunyi kaya gini.”
“Iya
sayang. Tak lama lagi ya. Aku janji.”
Jawab Dika merangkul dan mengecup wanita lain. Yang tak lain sahabat
terdekat Kania. Virly.
Di
pojok meja lain, sepasang mata memandang tajam ke arah mereka berdua. Menangis
dan menyeka air mata yang tak lain adalah Kania. Ia pun menghampiri keduanya.
“Jadi,
ini tugas tambahan atasanmu ya Dika?!” tanya Kania menahan emosi.
“Kania..
ini gak seperti apa yang kamu pikirkan sayang”
“Dan
satu lagi, sahabat macam apa kau ini Virly?!”
“Sayang..
bukan salah Virly, aku yang salah. Maaf, aku lebih mencintai sahabatmu. Sudah
lama mau bicara ini.”
“hhhm...
jadi... oh Tuhan... sandiwara macam apa ini? Oke fine. Makasih buat semua pengkhianatan
ini. Akan selalu aku ingat! Good bye!”
Kania
menangis dan berlalu pergi. Dika tak mengejar, dia tahu dia salah mengkhianati
Kania. Begitu pula dengan Virly, dia hanya duduk terdiam, matanya berkaca-kaca
menyesali apa yang terjadi.
Sebulan
berlalu. Virly yang merasa tak tenang meminta Dika untuk pergi ke rumah Kania
meminta maaf. Sesampainya di rumah Kania dan bertemu kedua orang tua Kania,
mereka menceritakan apa yang terjadi.
“Gak
mungkin, mama sama papa bohong kan?” Virly terisak menyesali apa yang didengar
dari kedua orang tua Kania.
“Kita
berdua kesini mau meminta maaf.” Timpal Dika dengan wajah sedih.
“Kania,
sudah tiada. Dia kecelakaan. Malam itu pukul 21.30 taksi yang dia tumpangi
tertabrak mobil lain. Kania sempat dilarikan ke rumah sakit, dia
memanggil-manggil namamu Dika. Ini mama temukan di tas Kania.” Mama Kania terisak
menceritakan sambil sesekali menyeka air matanya, dan memberikan sebuah buku
kecil dan sebuah kado.
Virly
dan Dika pun membuka kado dan catatan kecil Kania.
“Hallo my lovely... Dika
sayang.. happy anniversary sayang... tepat lima tahun kita bersama, aku harap
hubungan kita seperti hadiah kecil ini. Walaupun hanya sebuah jam tangan, aku
Kaniamu ini mencintaimu seperti detik demi detik, menit demi menit, jam demi
jam, tiada pernah habis, tiada pernah lelah dan tak terhentikan selalu
mencintai dan bertambah cinta hanya untukmu Mahardika Pratama. Andai ada
pangeran tampan dan kaya sekalipun aku tetap memilih kamu. Kamu cinta ku yang
tak pernah berhenti untuk ku berdetak, mengagumi indahnya dirimu. Kamu cinta
yang tak pernah ku gantikan dengan lelaki lain walau sedetik. Andai ku bisa
hidup seribu tahun lagi, pandanganku akan tetap tertuju padamu meski harus
menunggumu ribuan tahun lagi pun aku akan menunggumu. I love you more than you
know. Your love, Kania Putri.”
Virly
dan Dika menangis setelah membaca pesan terakhir Kania.
“Jadi
yang datang di Kafe malam itu.....”